Fauzan Fuadi : Indonesia Negara Darussalam, Bukan Darul Islam

Bojonegoro, Suryanasional.com – Jika kita mengikuti sejarah berdirinya negara Indonesia di masa perumusan dasar-dasar negara dahulu, Nahdlatul Ulama (NU) konsisten, bahwa haluan negara kesatuan Indonesia tidak bisa berubah bentuk. Dalam Muktamar NU tahun 1936 di Banjarmasin, Kalimantan, NU merumuskan sebuah rekomendasi, bahwa Indonesia bukan negara Darul Islam tapi Darussalam (Negara keselamatan).

“Itu menandakan, NU jauh sebelum ada perdebatan-perdebatan tersebut telah meletakkan dasar fundamen negara Indonesia dengan konsep negara kesatuan dengan spirit nasional kebangsaan yang di dalamnya ada Bhinneka Tunggal Ika, saling menghargai perbedaan dan lain sebagainya,” kata Anggota DPRD Jawa Timur, Fausan Fuadi saat menggelar Sosialisasi Wawasan Kebangsaan di Desa Pasinan,Kecamatan Baureno, Bojonegoro, Kamis (26/5/2022).

Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa tersebut menyebutkan, dalam sebuah kegiatan NU maupun PKB, lagu Yaa Lal Wathan ciptaan KH Abdul Wahab Hasbullah pasti selalu dikumandangkan setelah menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Dalam Lagu Yaa Lal Wathan menyemayamkan cinta tanah air dan nasionalisme kuat.

“Jika kita memperhatikan syair Yaa Lal Wathan, semuanya mencerminkan bahwa NU mempunyai keterpihakan kepada negara Republik Indonesia yang jangan diganggu oleh disintegrasi bangsa,” kata Fauzan Fuadi.

“Seperti dalam bait Siapa Datang mengancammu, Kan binasa di bawah dulimu. Siapa datang mengancammu,
Kan binasa di bawah duliku. Makna kata duli adalah daki kaki yang mempresentasikan, bahwa siapapun yang mengancam NKRI akan hancur lebur,” terang Fauzan.

Kader PKB yang pernah menerima penghargaan Tokoh Muda Nahdliyin inspiratif Jatim 2021 dari Forkom Jurnalis Nahdliyin (FJN) ini berpandangan, bahwa wawasan kebangsaan harus dimaknai secara luas.

“Spirit wawasan kebangsaan harus terinternalisasi tidak hanya dilakukan secara formal. Tapi sesungguhnya ada ancaman laten yang nyata. Pihak-pihak yang berbicara tentang ideologi keagamaan  yang berusaha mereka usung sebagai ideologi negara, itu sebenarnya kan perdebatan yang tidak bisa diulang saat ini,” kata Fauzan.

Menurut Fauzan, perdebatan-perdebatan seperti itu sudah tuntas. Karena saat proses perumusan sendi-sendi fundamen negara ini diproklamasikan, perdebatan tersebut sudah selesai. “Jika saat ini masih ada kelompok yang memperdebatkan hal tersebut sebenarnya sangat tidak relevan,” katanya.

Namun, lanjut dia, hal tersebut tetap harus diwaspadai mengingat sebentar lagi ada momen politik yang berpotensi akan digunakan sebagai mekanisme untuk kepentingan mereka mengusung pimpinan atau calon presiden dalam momen politik nantinya.

“Seperti peristiwa 2019 dulu, marak terjadi penyebutan Kadrun (kadal gurun) dan Kecebong. Hal tersebut berpotensi memecah belah negara karena dapat  menimbulkan pro kontra antar kelompok masyarakat di Indonesia.

“Dampaknya saat ini seolah masih terasa, meskipun fluktuasinya cenderung relatif berkurang. Banyak tokoh-tokoh bangsa seperti dari NU, Muhammadiyah maupun elemen-elemen bangsa yang lain menyerukan menghilangkan istilah Kadrun dan Kecebong, namun faktanya di sosial media ungkapan tersebut masih banyak dilakukan,” katanya.

Fauzan mengajak masyarakat untuk melihat perbedaan sebagai sudut pandang yang positip.

“Kalau mempunyai tujuan yang sama kenapa harus terpecah belah. Kita harus melihat perspektif perbedaan sebagai khazanah untuk membangun Indonesia lebih produktif, sehingga perbedaan bukan lagi sebagai ancaman, namun sebaliknya sebagai berkah untuk menuju sesuatu yang lebih baik,” tandas Fauzan.(Lex/red).