Ketua APBMI Jatim: SPPI III Jangan Asal Bicara

Editor: Tri Karyono| Reporter: Budi Raharto

Suryanasional.com|Surabaya,-Pernyataan Serikat Pekerja Pelabuhan Indonesia III (SPPI III) yang mengungkap adanya dugaan praktik kartel layanan bongkar muat di pelabuhan-pelabuhan milik negara benar-benar mengundang reaksi. Sinyalemen kontroversi ini bak bola liar yang menggelinding kencang.

Alhasil, kecurigaan yang disematkan Ketua SPPI III, Muhammad F. Malik ke sejumlah oknum pengusaha swasta bidang bongkar muat terkait siasat kartel tersebut menyulut pitam Ketua Dewan Perwakilan Wilayah Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI) Jawa Timur, Kody Lamahayu Fredy.

“Pertanyaannya..? Kalau bicara masalah kartel dilihat dari mananya? Sangat tidak tepat dan tidak relevan bagi perusahaan bongkar muat kalau disebut melakukan kartel. Apanya yang kartel?” Kalau ini bisa kartel, tidak akan ada PBM (perusahaan bongkar muat, red) yang bangkrut,” tandas Kody, Senin (12/11/2018).

Untuk itu, ia meminta, agar SPPI III tidak melampaui batas dari kapasitasnya sebagai bagian dari pekerja di lembaganya, dalam hal ini PT Pelabuhan Indonesia III (Persero)/Pelindo III. Dikatakan, apabila memang ada upaya pengusaha swasta bersiasat membangun kartel di layanan bongkar muat, agar didukung dengan data fakta otentik. “Jadi, jangan asal bicara, atau hanya mencari muka tanpa ditopang pengetahuan. Sebetulnya, kalau berani bicara, harus tahu dulu apa artinya kartel. Pahami dulu apa arti sebenarnya dari kartel, baru bicara,” ingat Kody di kantornya.

Menurut Kody, bangkrutnya PBM, hingga berujung tutup, tak lepas dari bukti kian sulitnya PBM swasta mendapatkan order bongkar muat dari konsumen/pengguna jasa. Praktis, dari 145 PBM se-Jawa Timur, kini tinggal 100 perusahaan yang berusaha bertahan hidup tanpa pekerjaan.

“Tanjung Perak saja mungkin tinggal 85 PBM. Bagaimana dikatakan kartel. Yang bisa melakukan kartel, atau monopoli adalah BUP selaku pemilik fasilitas. Kalau di swasta tidak bisa melakukan itu (kartel, red). Karena, swasta tidak bisa mengatur suplier, importir ataupun pemilik barang. Yang bisa mengatur adalah BUP,” tegas Kody sembari mengingatkan agar tidak membuat statemen tanpa dasar yang justru mengundang kegaduhan.

Lebih jauh Kody mengungkapkan, sebelum badan usaha pelabuhan (BUP) diresmikan pemerintah, maka PBM menggunakan Peratuan Menteri (KM) 60/2014 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Bongkar Muat Barang dari dan Ke Kapal. Dalam aturan tersebut, lanjut Kody, yang boleh melakukan bongkar muat adalah perusahaan yang dibuat untuk bongkar muat dan memiliki SIUP PBM dari Dinas Perhubungan Provinsi setempat. “Sedangkan, dasar yang sekarang membolehkan BUP melakukan pelayanan bongkar muat adalah, PM 152 tahun 2016,” ungkapnya.

Hanya saja, ingat Kody, aturan yang melegitimasi BUP dalam Penyelenggaraan Dan Pengusahaan Bongkar Muat Barang Dari Dan Ke Kapal itu, harus menggunakan peralatan khusus, seperti conveyor, pipa serta berada dalam dedicated area/pelabuhan khusus dan bukan di pelabuhan umum. Dalam Pasal 2 ayat 9 di PM 152/2016, BUP masih diperkenankan melakukan bongkar muat, namun harus diatur lagi dengan peraturan menteri tersendiri.

“Sekarang, peraturan menteri tersendiri itu belum diterbitkan Menteri Perhubungan, tapi kenapa Pelindo III sudah bisa melakukan bongkar muat? Berarti dia (Pelindo III, red) tidak mengindahkan PM 152 dan PM 60. Kalau ditinjau dari dua keputusan menteri ini, jelas-jelas secara hukum Pelindo III melanggar. Sekarang yang disebutkan kartel yang mana dan siapa?” tanya Kody.

Seperti diberitakan sejumlah media, SPPI III melalui ketuanya, Muhammad F. Malik menyebut, kewenangan pemerintah di pelabuhan mulai dipreteli atau dipangkas kartel bongkar muat swasta. Padahal di pelabuhan-pelabuhan milik negara sudah ada perpanjangan tangan pemerintah yang melayani kegiatan bongkar muat demi kepentingan pengguna jasa logistik.

“Saat ini sejumlah oknum pengusaha swasta sedang berupaya membuat kartel layanan bongkar muat di pelabuhan-pelabuhan milik negara. Mengapa disebut ‘kartel’? Karena oknum-oknum tersebut bersiasat untuk membatasi tersedianya layanan bongkar muat yang profesional dengan kompetisi bisnis yang sehat,” ungkap Malik, sapaannya di Surabaya, Rabu (7/11/2018) lalu.

Kondisi tersebut, kata Malik, sangat mengkhawatirkan. Alasannya, adanya kompetisi bisnis yang tidak sehat hingga menyebabkan biaya tinggi pada layanan jasa bongkar muat. Kemudian, efektivitas dan profesionalitas jasa yang diberikan juga tidak terjamin. “Maka yang dirugikan adalah para pengguna jasa logistik, mulai dari pemilik barang, perusahaan pelayaran, pengusaha angkutan barang, dan bahkan masyarakat sebagai konsumen akhir dari barang-barang konsumsi yang didistribusikan melalui pelabuhan,” ulasnya.

Komentar ditutup.