LBH KORAK Mengadukan Majelis Hakim Ke Komisi Yudisial Dan Badan Pengawas Mahkamah Agung.

Editor:Tri Karyono|Reporter:Budi Raharto

Suryanasional.com|Surabaya,-Ketua Umum Lembaga Bantuan Hukum Komunitas Rakyat Anti Korupsi (LBH KORAK) Parlindungan Sitorus, SH akhirnya angkat bicara karna tidak sportif atas putusan sela yang disampaikan Ketua Majelis Hakim Achmad Virza Rudiansyah,SH.MH.CN dalam perkara investasi bodong dengan terdakwa Novita Rindra Firmanti warga Puri Lindah Kulon Indah Lakarsantri Kota Surabaya.

Kepada Wartawan Parlindungan menyampai kepada pihaknya akan mengadukan Majelis Hakim yang menyidangkan perkara tersebut ke Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung. Pasalnya Parlindungan juga menilai, Bahwa Majelis hakim tidak taat terhadap Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2002 tentang penanganan perkara yang juga berkaitan dengan azas Nibis In Idem.

Menurut Parlindungan berdasarkan, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2002 tentang penanganan perkara yang berkaitan dengan azas Nibis In Idem jadi putusan hakim harus mempertimbangkan dulu hal-hal yang subtansialnya yaitu menegakkan tentang keadilan dan juga terciptanya kepastian hukum yang bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang R.I No. 39 Tahun 1999 tentang mengenai hak asasi manusia.

“Jadi Jangan sampai pihak pengadilan berulang-ulang untuk menyidangkan tentang peristiwa yang sama, sehingga dalam satu peristiwa harusnya ada beberapa putusan yang kemungkinan akan mengurangkan kepercayaan kepada rakyat terhadap pengadilan,” kata LBH KORAK Parlindungan Sitorus, SH Seusai mengikuti jalannya Persidangan dengan agenda pembacaan putusan sela di ruang Garuda2 di Pengadilan Negeri Surabaya, Pada Hari Rabu (21/11/2018).

Parlindungan juga menilai hakim hanya mengedepankan sisi formal semata aja, yakni untuk penegakan hukum dalam Putusan Sela yang disampaikan tidak untuk mempertimbangkan hal-hal yang subtansialnya yakni menegakkan keadilan.

“Dalam kasus perkara investasi bodong ini, Harusnya majelis hakim hanya menegakkan hukum (formal) tidak menegakkan tentang keadilan (substansial). Karna, Terdakwa dan saksi korban adalah korban penipuan yang juga sama dan terbukti dilakukan oleh Putri Duwintasari yang telah divonis 2 tahun 6 bulan penjara,” terangnya.

LBH Korak Parlindungan juga menerangkan, bahwa kasus Penipuan ini dan juga Penggelapan adalah investasi bodong ini sudah pernah disidangkan dengan terdakwa Putri Duwintasari beralamat tinggal di Perum Dreaming Land Blok C.3/11 RT 005 RW 004 Kel.Sememi Kec.Benowo Kota Surabaya. Dalam putusan perkara Nomor : 2276/Pid.B/2017/PN.Surabaya. Majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya juga telah menjatuhkan vonis 2 (dua) tahun 6 (enam) penjara kepada Putri Duwintasari karena terbukti bersalah melakukan penipuan terhadap Novita Rinda Firmanti, Veisa Catrie Damayanti, Gusfreeyanto Sutomo, Savira Nagari, Novita Dwi Wulandari, Nilam Maharani dan Fitriah Sari Yulianti.

Pertimbangan hakim dalam putusan perkaranya Nomor : 2276/Pid.B/2017/PN.Sby menyebutkan,bahwa para saksi korban adalah Novita Rinda Firmanti, Savira Nagari, Veisa Catrie Damayanti, Gusfreeyanto Sutomo, Novita Dwi Wulandari, Nilam Maharani dan Fitriah Sari Yulianti sama-sama juga menjadi korban penipuan dan penggelapan dalam bentuk investasi dan juga bentuk travel sama online pakaian.

Sementara, dalam perkara yang didakwakan Jaksa, Novita Rinda Firmanti diduga pelaku penipuan dan penggelapan terhadap Savira Nagari. Jadi Pada hal, berdasarkan putusan perkara Nomor : 2276/Pid.B/2017/PN.Sby yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) untuk menyebutkan saksi korbannya adalah Novita Rinda Firmanti, Savira Nagari dan lima orang lainnya.

“Jadi artinya, terdakwa Novita Rinda Firmanti dan Savira Nagari adalah jadi korban penipuan dan penggelapan dari terpidana Putri Duwintasari,” ungkap Parlindungan LBH KORAK.

Harusnya semestinya, dalam dakwaannya Jaksa seharusnya menyertakan pasal 55 KUHP, dan tidak hanya diancam pidana dalam pasal 378 jo pasal 372 KUHP. Sebab perkaranya tersebut telah pernah disidangkan dengan terpidana Putri Duwintasari.

Masih menurut Parlindungan, sebagaimana diketahui bahwa dalam hukum pidana Indonesia yang diatur dalam KUHP telah diatur tentang pelaku dan keikutsertaan (DADERSCHAP EN DEELNEMING). Deelneming ini dikelompokkan kedalam 2 kelompok, yaitu, para pembuat (mededader) diatur dalam Pasal 55 KUHP dan pembuat pembantu (medeplichtige) diatur dalam Pasal 56 KUHP.

Terhadap para pembuat (mededader) orang-orang yang terlibat di dalamnya ancaman pertanggungjawaban pidananya disamakan, sedangkan terhadap para pembuat pembantu (medeplichtige) ancaman pertanggungjawaban pidananya lebih ringan dari pada para pembuat (mededader), yakni menurut Pasal 57 ayat (1) KUHP disebutkan bahwa “dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan dikurangi sepertiga”.

“Apabila dalam dakwaannya Jaksa menyertakan pasal 55 KUHP maka kami tidak akan mengajukan Eksepsi dan kami akan meminta untuk agenda pembuktian. Dalam pembuktian tersebutlah, kita dapat mengetahui, apakah Novita terbukti turut serta dalam kasus Investasi Bodong..? atau tidak..?,” tegasnya.

Karena, lanjut Parlindungan,Hal ini dalam persidangan perkara invetasi bodong yang melibatkan isteri seorang Polisi tersebut, saksi korban (Savira Nagari) telah mengetahui bahwa pelaku penipuan dan penggelapan adalah Putri Duwintasari.

Mengutip Pasal 76 KUHP secara tersirat menjelaskan bahwa yang dimaksud adanya putusan nebis in idem itu berarti pengajuan perkara yang telah diproses oleh hukum (perkara tersebut telah diadili).

“Maka semestinya, Eksepsi Kuasa Hukum terdakwa Novita Rinda Firmanti dikabulkan karena perkaranya juga sama dan pernah juga disidangkan,” tegas Parlindungan LBH KORAK.