Sejak Lama Pungli SIM Sudah Ada

Suryanasional.com|Surabaya,- Bukan rumor mengurus Surat Izin Mengemudi (SIM) di Satuan Penyelenggara Admisnistrasi SIM (Satpas) melalui calo lebih mudah dan dijamin pasti lulus. Praktik pungutan liar (pungli) dalam pengurusan SIM makin marak di sejumlah daerah.

Belum lama ini, Tim Saber Pungli Mabes Polri membongkar praktik pungli di Satpas SIM Polres Kediri pada Sabtu (18/8/2018). Dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) tersebut, Tim Saber Pungli meringkus 13 anggota Polres Kediri.

Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Pol Pol Frans Barung Mangera mengatakan, saat ini ketiga belas anggota Polres Kediri tersebut tengah menjalani penyelidikan oleh Propam Mabes Polri.

Ketiga belas anggota Polres Kediri yang terjaring OTT dan saat ini menjalani pemeriksaan yakni KRI Iptu Bagus, Baur SIM Bripka Ika, Aiptu Yoyok, Aipda Kuswanto, Brigadir Didik Feri, Bripka Agustinus Soni, Bripda Halla Cintiya, Bripda Ana Handayani, Bripda Zahrina, Brigadir Andi Fahrudin, Brigadir Pujianto, Bripka Zainul Aula, dan Bripka Catur Edi.

Selain tiga belas anggota Polres Kediri, lima calo juga diamankan masing-masing berinisial HA, AL, BU, DW, dan YU. Dalam pemeriksaan, kelimanya mengaku bekerjasama dengan orang dalam di Satpas SIM Polres Kediri. Caranya, setiap hari mereka menyetorkan uang pungli kepada seorang PNS berinisial AN.

Para pelaku menarik biaya pembuatan SIM di luar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) yang sudah ditetapkan. Biayanya bervariasi mulai Rp 500 ribu hingga Rp 600 ribu untuk satu SIM.

Dari OTT itu, Tim Saber Pungli juga mengamankan uang sebesar Rp 71,17 juta. Rinciannya, uang senilai Rp 40 juta diamankan dari Kapolres Kediri AKBP EH yang merupakan uang pungli SIM selama sepekan terakhir.

Ya, diduga uang hasil pungli yang dilakukan calo dan anggota Polri tersebut mengalir ke petinggi Polres Kediri. Dari sumber kuat di Polda Jawa Timur, diketahui AN mengaku kalau uang setoran yang diperolehnya setiap hari dari lima calo tersebut selalu dilaporkan kepada Baur SIM Bripka IK. Selanjutnya Bripka IK merekapitulasi laporan tersebut secara mingguan, dan diduga dibagi rata kepada pejabat utama. Mulai dari Kanit Regident, Kasat Lantas, hingga Kapolres Kediri.

Diketahui pula setiap anggota Satpas SIM Polres Kediri menerima jatah uang sebesar Rp 300 ribu per hari. Sedangkan Kasat Lantas Polres Kediri AKP FT diduga menerima Rp 10 juta hingga Rp 15 juta setiap pekan. Sedangkan Kapolres Kediri AKBP EH diduga menerima Rp 40 juta hingga Rp 50 juta setiap pekan.

Namun selama dua minggu terakhir, Kasat Lantas Polres Kediri belum menerima setoran tersebut. Hal ini disebabkan banyaknya kegiatan. Sehingga uang setoran dua minggu terakhir dipakai untuk operasional kantor oleh Bripka IK.

Kasus praktik pungli di lingkungan Satpas Jawa Timur juga pernah dibongkar Bid Propam Polda Jatim. Pada 5-6 Agustus 2016, sebanyak 17 oknum polisi mulai bintara hingga perwira serta PNS dari Satpas Ngawi, Magetan dan Situbondo terkena OTT.

Dari Satpas Ngawi yang tertangkap Briptu YPA, Bripka JE, Aipda SK, Aiptu AS dan Bripda SP. Dari Satpas Polres Magetan terdapat nama Brigadir SM, Brigadir HK, Ipda SL, Bripka YC, Bripka AW, Brigadir AA, Brigadir YAS, Aiptu SR dan Aiptu AL. Sedangkan dari Satpas Situbondo Brigadir AA, Ipda LS.

Para oknum polisi yang ditangkap itu rata-rata bekerja tidak sebagai tugas kepolisian. Mereka merangkap pengurusan surat kendaraan baik roda dua maupun empat, seperti pengurusan SIM, pajak denda kendaraan, TNKB, maupun balik nama kendaraan. Yang jelas, mereka telah menyalahi aturan karena mengambil keuntungan dengan menerapkan tarif tidak sesuai dengan aslinya

Pemberlakuan Undang-undang Lalu Lintas No 22 tahun 2009, membuat warga ramai-ramai membuat SIM. Kebanyakan dari mereka takut dengan sanksi hukuman yang mencapai Rp 1 juta bila tidak memiliki SIM. Ironisnya, hal ini malah dimaanfaatkan oknum calo yang mengambil keuntungan dari warga yang akan membuat SIM.

Siapa bilang calo SIM diberangus? Meski berkali-kali Satpas menuliskan kata ‘hindari calo’ namun kenyataannya di lapangan para anggota Satpas justru yang menjadi calo. Padahal sudah jelas sanksi yang diterima dari praktik percaloan tersebut dimana dikategorikan sebagai tindak pidana suap. Hal itu sesuai dengan UU Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap.

Orang yang memberikan suap pada calo akan dikenakan sanksi berupa penjara selama 5 tahun serta denda sebesar Rp 15 juta. Sedangkan yang menerima suap dipenjara selama 3 tahun dan denda Rp 15 juta.

Sayangnya, tindak pidana suap ini justru terjadi di lingkungan kepolisian. Keberadaan calo dianggap mendatangkan pemasukan bagi sejumlah oknum anggota dan pejabat tinggi di lingkungan kerja Satpas.

Di Surabaya biaya pembuatan SIM yang ditawarkan para calo cukup seragam. Kalau dulu SIM C dipatok Rp 450 ribu dan bila paket SIM A/C dipatok Rp 950 ribu. Tahun 2018, biayanya melonjak yakni Rp 850 ribu untuk SIM C.

Padahal untuk biaya Biaya administrasi penerbitan SIM tahun 2018 (baru/pengalihan golongan) hanya berkisar SIM A Rp 120.000, SIM A Umum Rp 120.000, SIM B1 Rp 120.000, SIM B1 Umum Rp 120.000, SIM BII Rp 120.000, SIM BII Umum Rp 120.000, SIM C Rp 100.000, SIM CI Rp 100.000, SIM CII Rp 100.000, SIM D Rp 50.000, dan SIM DI Rp 50.000.

Mengapa banyak calo? Munculnya calo di sejumlah Satpas disebabkan susahnya para pemohon membuat SIM. Pertama, pemohon reguler harus antre berjam-jam untuk pengurusan. Antrian bisa sampai 5-6 jam. Ini fakta yang terjadi selama bertahun-tahun di hampir semua Satpas. Banyak pemohon SIM mengeluhkan lamanya pengurusan SIM A/C. Untuk foto 5 menit saja nunggunya sampai 4 jam. Ditambah tes teori dan tes praktek bisa 2 jam atau lebih.

Padahal jika dalam sehari ada 300 pemohon dikalikan Rp100.000 biaya pengurusan SIM C, maka perputaran uang bisa mencapai Rp 30.000.000 per hari. Jika dalam sebulan 20 hari (dipotong hari libur Sabtu-Minggu) dikalikan Rp 30.000.000 menjadi Rp 600.000.000. Ini belum termasuk pengajuan pemohon untuk SIM A dan SIM B. Belum lagi biaya cek kesehatan dan biaya asuransi. Artinya negara sebenarnya diuntungkan dengan banyaknya pendapatan yang diterima. Namun di sini para pemohon SIM reguler malah dirugikan oleh ulah oknum Satpas dan calo. Hanya demi mengeruk keuntungan demi segelintir orang, mereka mengorbankan kepentingan ratusan orang.

Kedua, tes teori maupun tes praktik bukan jaminan lulus. Banyak pemohon mengurungkan niat mengurus SIM karena selalu gagal. Ada yang trauma dan tidak mau balik lagi. Sebagian orang kemudian memilih caranya sendiri, lebih baik tidak punya SIM atau ditilang di jalanan saat razia ketimbang menghabiskan waktu seharian di Satpas. Calo-calo kemudian difungsikan anggota Satpas untuk memberikan jasa pada pemohon SIM yang gagal tes.

Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur, M. Said Sutomo menyayangkan kinerja Satpas Colombo yang terlalu meremehkan pemohon SIM. “Sudah lama calo dan pungli terjadi di banyak Satpas. Dari tahun ke tahun tidak ada perubahan. Yang kami sayangkan, praktik-praktik ini justru dilakukan di lingkungan penegak hukum. Padahal yang namanya pelayanan publik perlu didahulukan,” terang Said.

Menurut Said, sampai saat ini setiap Satpas tidak pernah memberikan jaminan kepada para pemohon SIM. Katakanlah jika mereka tidak lulus tes, terus nasibnya bagaimana. Sementara jika melalui jasa calo, para pemohon dijamin lulus 100 persen.

Padahal dalam dalam aturan pelayanan publik ada tiga hal yang perlu diterapkan, yakni ketetapan biaya, waktu terukur dan mutu pelayanan. Apakah ketiga hal ini sudah dijalankan. Kalau setiap pemohon SIM tidak lulus hampir 90 persen, lantas darimana PNBP yang diterima. Apakah semua polisi mau menilang ribuan warga yang tidak memiliki SIM?

“Jika mau fair, harusnya pemohon reguler yang jumlahnya ribuan (jika ditotal dalam sebulan) diutamakan. Sepintar apapun profesor, kalau sistem tes SIM yang dipakai seperti itu, tidak akan lulus ujian. Saya tidak bisa membayangkan jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, ke depannya akan menjadi preseden buruk. Bayangkan kalau warga ‘demo’ tidak mau ngurus SIM karena banyaknya pengalaman di Satpas yang mereka terima. Padahal yang namanya pengurusan SIM sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak. Tapi, ini dibuat susah,” terangnya.

Yang perlu dicatat, bukan masalah tidak lulusnya, tapi keadilan bagi pengurus SIM yang mengurus secara resmi. Banyak dari pemohon yang tidak lulus telah bertahun-tahun membawa motor. Tapi prosedurnya susah. Jaminan tidak lulus 90 persen. Sementara banyak anak SMA bahkan SMP gampang punya SIM. Apakah pemohon SIM yang prosedural hanya untuk menunjukkan bahwa proses telah berjalan, sementara proses calo ditutupi?

Sudah menjadi rahasia umum bahwa praktik pungli SIM di sejumlah Satpas dirancang secara sistematis untuk memudahkan para calo. Sistem ini mustahil dihilangkan karena sudah membudaya. Meskipun pimpinan diganti, dari mulai Kasatlantas, Kapolres, Kapolda hingga Kapolri, praktik percaloan tetap jalan terus.

Hasil investigasi di lingkungan Satpas Jawa Timur, hampir modus yang digunakan calo SIM sama. Pemohon dipastikan tak akan lulus bila tidak menggunakan jasa mereka. Ini modus pertama. Modus ini melibatkan orang dalam Satpas. Anggota Satpas sudah kongkalikong dengan calo. Bagi pemohon yang tidak lulus, mereka akan menjadi santapan calo saat keluar.

Pemohon yang menggunakan jasa calo, dijamin lulus. Itu pun tanpa tes teori dan tes praktik. Kalau pun tes teori, itu hanya formalitas saja. Sejak adanya sistem online, semua pemohon wajib mengikuti ujian teori.

Pengakuan seorang pemohon SIM yang menggunakan jasa calo mengatakan, saat ujian teori, mereka dibantu orang dalam Satpas. Maklum, berkas-berkas yang masuk sebelumnya sudah ditandai. Ya, bagi setiap pemohon SIM baru lewat calo akan mendapat barcode di Asuransi Bakti Bhayangkara. Barcode itu berfungsi sebagai ‘kode’ penjamin kelulusan.

Sebaliknya meski pemohon SIM baru mengajukan asuransi sendiri, dipastikan tidak akan mendapat barcode. Pasalnya, barcode itulah yang nanti ter-connect atau terhubung ke server dan pasti lulus. Kalau jaman dulu, ada semacam tanda di pojok atas map pemohon SIM. Sekarang cukup itu.

Pemohon SIM yang menggunakan jasa calo tinggal mengikuti ujian teori lalu bisa langsung pulang. Tidak perlu ikut ujian praktik. SIM bisa diambil sore hari atau diambil di rumah calo yang telah disepakati.

Hampir semua calo menjalin kerjasama dengan seluruh anggota kepolisian di Satpas. Kalau sistem percaloan dihilangkan, bukan hanya calo kehilangan penghasilan, tapi oknum Satpas akan kehilangan pendapatan. Lihat saja bagaimana massifnya setor menyetor uang di Satpas SIM Polres Kediri, dari mulai calo hingga pejabat tinggi Polri.

Karena sama-sama saling membutuhkan antara calo dengan oknum Satpas, belakangan ada penunjukan koordinator calo untuk lebih merapikan ‘sistem kerja’ mereka. Modusnya oknum Satpas menginventarisir data para koordinator calo SIM dan hanya mau bekerjasama dengan mereka. Ini dilakukan untuk meminimalisir masalah, saksi dan sanksi bila ada hal-hal tak diinginkan.

Bukti sudah di depan mata, bahwa dalam pengurusan SIM terjadi banyak praktik kecurangan, memang iya. Calo ada karena sistemnya bobrok. Ribetnya aturan seperti ketetapan biaya, waktu terukur dan mutu pelayanan, membuat calo dan oknum kepolisian memanfaatkan celah-celah itu.

Sebenarnya ada banyak cara untuk menghentikan praktik percaloan. Korlantas bisa memberlakukan SIM seumur hidup seperti E-KTP. Dengan begitu, percaloan dapat diberantas. Penerapan SIM seumur hidup tentu dibarengi dengan ketatnya seleksi dalam mendapatkan permohonan SIM dari pihak kepolisian. Sebaliknya, pemberian sanksi berat terhadap pemegang SIM ketika melakukan pelanggaran. Misalnya, menabrak kendaraan atau orang, pengendara mesti dicabut kepemilikan SIM.

Bila hal tersebut dilakukan Korlantas berjalan efektif, maka kebijakan pembuatan SIM dapat diberlakukan dengan payung hukum UU, bukan aturan Korlantas. Menurutnya, banyak pekerjaan rumah Korlantas dengan melakukan perubahan. Misalnya, pemberlakukan STNK mesti seumur hidup.

Sedangkan pembayaran pajak kendaraan bermotor dapat dilakukan melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM). Begitu pula BPKB menjadi seumur hidup. Praktik yang berlaku, terhadap kendaraan yang diperjualbelikan mesti mengganti BPKB menjadi baru. Akibatnya, persoalan lalu lintas membutuhkan biaya tinggi. Sementara proyek pengadaan SIM, STNK, BPKB serta TNKB sangat rawan menjadi rebutan mafia proyek. Jika SIM, STNK BPKB dan TNKB seumur hidup tentu akan efisien tidak membebani masyarakat dan tidak menjadi rebutan mafia proyek pengadaan.

Sudah saatnya transparansi di Polri dilakukan guna menunjang kinerja Polri menjadi clean government. Yah, kita menunggu itu.(Budi R).

Komentar ditutup.