Mencari Mozaik-mozaik dalam Entitas Kekuasaan Bojonegoro

Oleh : Khoirul Anam

Pagebluknya (masif) pemberitaan adanya min (-) harmonisasi (keseimbangan, keselarasan/KBBI) antara Bupati dan Wakil Bupati Bojonegoro, Anna Mu’awanah-Budi Irawanto telah menjadi konsumsi publik di tengah bencana nasional yang bernama pandemi COVID-19.

Banyaknya produk-produk perspektif yang bermunculan tentang minharmonisasi tentu menjadi fenomena tersendiri, bahwa akan selalu ada banyak sudut pandang seseorang dalam menyikapi sebuah kejadian. Satu orang seperti kita saja bisa memandang fenomena dari beragam sisi.

Fenomena minharmonisasi ini ibarat mata uang logam Rp 500. A (Bukan inisial Anna Mu’awanah) mengatakan kalau uang logam Rp 500 itu adalah uang koin dengan gambar melati. Sedang B (Bukan pula inisial Budi Irawanto) mempunyai pandangan jika koin Rp 500 adalah koin yang bergambar Burung Garuda

Tidak ada yang salah dari kedua perspektif tersebut. Semua tergantung bagaimana kita melihatnya.

Sebagai manusia yang sejak lahir telah dianugerahi gelar masyarakat awam kelas trotoar…”katanya” kita hanya berharap, agar kejadian ini segera menerbitkan akhir cerita yang baik (Husnul Khotimah) di hati masyarakat. Sebab, meskipun kekuasaan tidak memiliki legitimasi, namun kekuasaan bisa termanifestasi secara nyata dalam perilaku di tengah masyarakat.

Kita tidak berharap fenomena ini akan terus berkibar hingga bermetamorfosis menjadi babak baru (kekuatiran publik) yang menjurus akhir yang tidak baik (Su’ul Khotimah).

Tentunya akan menjadi kabar buruk bagi masyarakat Bojonegoro, jika fenomena ini juga berpotensi menjadi virus yang bermutasi dan menginfeksi benteng integritas para pemangku kekuasaan.

Memang kalau kita menelisik pelan aspek relasi hukum sebab akibat, bukan hanya persoalan peran dan fungsi Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) ataupun peran dan tugas wakil bupati saja yang menjadi embrio dari minharmonisasi ini. Attitude dalam penyelenggaran pemerintahan harusnya mengimplikasikan untuk saling menghormati dan menghargai kedudukan sebagaimana kesepakatan peran di antara mereka sebelumnya.

Jika kiprah dan eksistensi fenomena minharmonisasi ini terus berlanjut, potensi menjadikan obyek ini sebuah “momen ikonik” periodesasi kekuasaan Bojonegoro tentunya bakal sulit terbendung.

Itu terjadi jika Tabayyun politik belum juga merasuk dalam mindset para elit operator Pemkab Bojonegoro. Kita tidak ingin minharmonisasi ini menjadi Hall of Fame di mata masyarakat dan penikmat warung kopi. Kita juga tidak ingin minharmonisasi ini menjadi bagian dari joke anak-anak kita yang saat ini #dirumahsaja dan #masapertumbuhan.

Bukan ingin mengurai maupun mengidentifikasi virus dari fenomena ini. Sebagai manusia Bojonegoro, kita hanya bisa menengadahkan kedua tangan, agar minharmonisasi ini tidak akan pernah berdampak seperti halnya virus corona.

Apalagi saat ini Bojonegoro dilanda keprihatinan yang mendalam menyangkut fase akan dampak COVID-19 dan menyeruaknya beberapa leading sector kegiatan APBD yang menjadi kajian dan telaah Kejari Bojonegoro. Sebuah narasi yang tentunya akan berdampak pula terhadap nilai-nilai etika dan estetika sirkulasi pemerintahan kita.

Sebagai masyarakat Bojonegoro, kita berhak mendapatkan sebuah kepribadian dari pemerintahan yang bermutu dan bukan berkutu.

Pada akhirnya, apa yang terjadi saat ini, kompulsif ataupun impulsif, terserah dari sudut pandang mana melihatnya. Ataupun mungkin hanya perspektif dari sinopsis sebuah Tembung aran-aran ?.

Atau mungkin minharmonisasi ini klaster baru dalam penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten Bojonegoro…? Wallahu a’lam Bish-shawabi.*

  • Penulis adalah wartawan yang tidak punya sertifikasi apapun. Penulis juga bukan wartawan yang merasa paling wartawan diantara para wartawan.