Ambigu Perlakuan Kepada UMKM

Oleh : Rahmat Junaidi

Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 tahun 2019 tentang pelaku usaha yang terlibat perdagangan melalui sistem elektronik harus memiliki izin usaha.

Peraturan ini tentunya menunjukkan ambigu keberpihakan pemerintah pada pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Perlu diketahui, industri perdagangan secara elektronik atau pedagang di Indonesia baru saja tumbuh dan berkembang. Tentunya jangan sampai industri itu mati karena peraturan yang tidak mendukung.

Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Pasal 9 PP No 80/2019 mengharuskan pihak yang terlibat dalam perdagangan melalui sistem elektronik memiliki subyek hukum yang jelas.

Sementara Pasal 11 PP No 80/2019 memfokuskan setiap pelaku usaha yang melakukan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) wajib memenuhi per-syaratan, diantaranya meliputi izin usaha, izin teknis, tanda daftar perusahaan, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), kode etik bisnis atau perilaku usaha, serta standarisasi produk barang. Kemudian masih harus ada jaminan kemudahan dan bebas pungutan liar ketika kewajiban izin usaha diberlakukan, terutama kepada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. Hal ini ditambah proses mengurus izin usaha masih memakan waktu yang lama dan panjang.

Di sini nampak bahwa, pemerintah tetap berharap pelaku UMKM dapat mempunyai izin usaha, sehingga kantor pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) harus menyediakan loket khusus bagi UMKM. Tentunya model ini juga harus merata ke tingkat daerah. Proses verifikasi hingga izin keluar juga harus cepat dan mudah.

Kita tentu berharap, pemerintah perlu memperlakukan UMKM dan koperasi secara berbeda, kendati mereka sama-sama memanfaatkan platform e-dagang untuk menjual barang. Idealnya, di tengah kondisi industri e-dagang yang baru tumbuh, pelaku UMKM mendapat insentif fiskal.

Pemerintah telah mendorong kepatuhan pajak, diikuti pendataannya terhadap UMKM. Jangan sampai UMKM semuanya beralih penuh ke media sosial yang mekanisme pengawasannya belum maksimal. Jangan pula orang jadi kembali berjualan di saluran konvensional, sehingga menjadi suatu kemunduran.

Hasil dari survey yang dilakukan Asosiasi E-Commerce Indonesia pada tahun 2017 terhadap 1.800 pelaku UKM di 11 kota besar menyebutkan, hanya 16 persen pelaku berjualan di laman pemasaran. Sebanyak 59 persen responden mengaku menggunakan media sosial, seperti Facebook dan Instagram.

UMKM seharusnya terus dimotivasi dan didukung untuk memproduksi dan berjualan produk-produk dalam negeri dalam bentuk kemudahan mekanisme perizinan, karena kita tahu bahwa platform daring saat ini sebagaian besar menjual produk impor.

Nampaknya pemerintah melalui PP No 80/2019 tersebut terkesan hanya membolehkan perusahaan besar dan memiliki izin yang boleh berbisnis daring. Padahal, dengan kemudahan teknologi daring, pengusaha skala mikro yang semula mencoba usaha daring bisa memiliki usaha serius dan memiliki izin.

Mari kita besarkan produk dalam negeri kita dengan mendukung pelaku UMKM untuk terus berinovasi dan berkarya. Jangan sampai UMKM menjadi kian subhat apalagi sampai kita matikan melalui suatu kebijakan yang kurang berpihak. Ingat, pertumbuhan ekonomi kita juga atas kontribusi pelaku UMKM. Seperti pepatah “Tidak ada kebijakan yang sempurna, sama halnya dengan emas yang 100 persen murni”.

*) Penulis adalah Warga negara yang cinta ekonomi Indonesia. Tinggal di Desa Ngumpakdalem, Kecamatan Dander, Kabupaten Bojonegoro, Jatim.